RSS

CINTA KASIH TIDAK DAPAT DIAM

“Mari kita melihat Putera Allah. Hati yang begitu penuh kasih! Betapa cinta yang membara. Oh, Penyelamat kita! Sumber cinta yang direndahkan di hadapan siksaan keji salib! Siapakah yang memiliki cinta seperti Engkau? Saudara-saudaraku, jika kita memiliki sebagian dari cinta itu, akankah kita diam dan menyilangkan tangan kita? Akankah kita membiarkan mati segala hal yang bisa kita pelihara? Tidak, cinta kasih tidak dapat diam berpangku tangan, melainkan menggerakkan kita untuk menyelamatkan dan menghibur sesama.” (Santo Vinsensius)

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada April 25, 2011 inci VINSENSIUS

 

Tag: , , ,

MENINGGALKAN TUHAN UNTUK TUHAN

“Bila anda terpaksa meninggalkan doa untuk melayani orang miskin, jangan cemas, karena itu berarti meninggalkan Tuhan untuk berjumpa lagi dengan Tuhan dalam diri orang miskin.” (Vinsensius)

===================

“Inilah alasan yang membuat anda harus melayani orang-orang miskin dengan hormat, sebagai majikan anda, dan dengan bakti, yaitu bahwa mereka mewakili pribadi Tuhan kita, yang berkata: Apapun yang engkau lakukan untuk salah seorang saudaraku yang paling hina ini, engkau lakukan untuk aku.” (Vinsensius)

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Maret 16, 2011 inci VINSENSIUS

 

CINTA DAN PERJUMPAAN

Pagi itu, dalam kesempatan ngobrol sambil makan bersama, seorang sahabat bercerita mengenai rasa jengkelnya. Rasa jengkel itu muncul karena dia dan lembaga yang dia pimpin dicap tidak peduli terhadap nasib orang miskin. “Bagaimana mungkin saya dinilai tidak mencintai orang miskin? Setiap tahun – kalau dihitung – saya mengeluarkan sedikitnya 300 juta untuk orang miskin.” “Oh… berarti kamu mengukur cinta kepada orang miskin dengan seberapa rupiah yang kamu keluarkan?” Pikirku dalam hati. Dengan pola pikir ini rasanya kita tidak terlalu sulit untuk membuat kesimpulan tentang sikap kita terhadap orang miskin: semakin sedikit uang dan barang yang kita berikan kepada orang miskin, maka semakin kecil pula rasa cinta kita kepada orang miskin. Sebaliknya, kita dapat dikatakan mencintai orang miskin jika semakin besar jumlah uang dan barang yang kita sumbangkan untuk menopang hidup orang miskin.
Benarkah demikian? Bernarkah uang dan barang itu adalah ukuran utama untuk mengatakan bahwa saya mencintai orang miskin atau tidak? Kalau itu benar, maka selama saya tidak memiliki uang dan barang, maka saya pasti tidak bisa dikatakan mencintai orang miskin. Dan sebaliknya saya akan dapat dikatakan mencintai orang miskin, jika saya mempunyai uang dan atau barang yang bisa saya sumbangkan untuk orang miskin.
Logika ini sekurang-kurangnya semakin menyadarkan saya akan fenomena yang sering terjadi saat ini. Bukan hanya sahabat saya, ternyata mayoritas orang jaman sekarang seringkali mengukur partisipasinya dalam kehidupan orang lain, terutama mereka yang miskin, dengan pemberian materi. Dan logika inilah yang menghantarkan orang-orang jaman ini dalam keengganan untuk memasuki kehidupan orang miskin. Keengganan ini biasanya disertai banyak alasan. Misalnya: saya sibuk, tidak punya waktu, itu bukan tugas saya, dan seterusnya. Read the rest of this entry »

 
2 Komentar

Ditulis oleh pada Maret 20, 2010 inci ARTIKEL, ROHANI

 

Tag: , , , , , ,

UPAH DAN KEPRIHATINAN GEREJA

Hati kami tersayat oleh rasa sedih yang mendalam, menyaksikan pemandangan yang memilukan: jutaan kaum buruh di sekian banyak negeri dan benua-benua akibat tidak layaknya upah, mereka terpaksa hidup bersama keluarga mereka dalam keadaan yang sama sekali tidak layak manusiawi… Di antara negeri-negeri itu kekayaan tak terduga besarnya, kemewahan yang tak terkendali pada kelompok kecil yang sangat beruntung, merupakan kontras yang tajam dan mengerikan sekali terhadap kemiskinan kebanyakan penduduknya yang sungguh keterlaluan. Diberbagai kawasan dunia orang-orang ditimpa oleh perampasan-perampasan yang tidak manusiawi. Di negeri-negeri lain persentase cukup besar penghasilan diserap dalam pembangunan “prestige nasional” dalam arti yang salah. Di negeri-negeri yang sudah maju perekonomiannya, jasa-jasa yang relatif tidak penting, dan jasa-jasa yang nilainya diragukan, sering mendapat imbalan yang tinggi sekali di luar segala proporsi, sedangkan kerja keras yang bermanfaat, dijalankan oleh jumlah amat besar orang-orang yang dengan jujur membanting tulang, mendapat imbalan yang kecil sekali. Upah yang mereka terima sama sekali tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok hidup. Upah itu sama sekali tidak sepadan dengan sumbangan mereka kepada kesejahteraan masyarakat, kepada keuntungan perusahaan tempat mereka bekerja, dan kepada ekonomi nasional pada umumnya.” (MM, art. 68-70). Apakah seruan keprihatinan moral ini mampu menggugah kesadaran nurani pihak-pihak penyandang modal atau pihak-pihak pemberi kerja? Apakah pertimbangan-pertimbangan moral dengan segala konsekuensinya – seperti terpapar di atas – juga menjadi referensi para pemberi kerja dalam berdiskusi dan akhirnya dalam memutuskan sebuah standart upah? Apakah memang benar bahwa dunia bisnis atau dunia kerja memiliki hukumnya sendiri yang terlepas dari pertimbangan-pertimbangan hukum moral kemanusiaan?

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada November 20, 2009 inci BURUH

 

Tag: , , , , , ,

UPAH YANG ADIL

“Seorang pekerja patut mendapat upahnya” begitulah ungkapan logis yang harus kita katakan jika kita sedang berbicara tentang dunia kerja. Kerja dan upah merupakan dua hal yang tidak bisa terpisahkan satu dengan yang lain. Tak terpisahkannya kerja dan upah bukan hanya berkaitan dengan ungkapan logis, seperti yang tertulis di atas, melainkan terutama berkaitan dengan keseimbangan antara tuntutan kerja di satu sisi dan kelayakan upah di sisi lain. Persoalan yang terus mengemuka dan menjadi bahan perdebatan antara pekerja dan pihak pemberi kerja, sering kali terjadi pada point ini. Tidak jarang pula pada point ini apa yang disebut dengan kesepakatan itu sulit ditemukan. Pihak pemberi kerja “merasa” sudah memberikan haknya kepada pekerja, secara maksimal, tetapi pekerja “merasa” bahwa apa yang diterima belum memenuhi standart dari hak yang seharusnya mereka terima. Ujung-ujungnya pekerja, sebagai pihak yang lemah dan hanya memiliki tenaga, selalu berperan sebagai pihak yang harus mengalah. Pasrah. Padahal mereka mengetahui secara persis bahwa mereka sedang berada dalam kubah perlakuan tidak adil. Inilah fenomena yang sangat umum kita lihat dalam dunia kerja. Read the rest of this entry »

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada November 8, 2009 inci BURUH

 

Tag: , , , ,